BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendahuluan
Kebanyakkan
dari kita keliru dengan perbuatan menggerakkan jari telunjuk di dalam solat.
Ternyata terdapat berbagai gerakan dan gaya yang ditampilkan. Lantaran itu, isu
ini hangat diperkatakan. Baik dikalangan bangsa arab maupun dikalangan kita.
Ternyata kita masih samar-samar dalam mencari jawabannya. Apakah kedudukan
hukum yang sebenarnya. Apakah pandangan mazhab kita dan mazhab-mazhab empat
dalam masalah ini.
Sebenarnya
isu ini bertaraf permasalahan ranting fiqhiyyah. Yaitu antara afdhal dan tidak
afdhal saja. Maksudnya setiap individu diberi pilihan untuk menggerakkan jari
telunjuk ketika bertasyahhud atau tidak. Jika dilakukan seseorang itu akan
mendapat tambahan pahala. Dan jika tidak dilakukan tidak mengapa. Inilah nilai
estetika syariat yang bersifat fleksibel dalam kelasnya tersendiri.
Tambahan
pula, terdapat berbagai isu yang lebih besar perlu diutamakan. Jika kita hanya
berkisar pada daerah isu yang kecil maka hasilnya tak sampai ke mana. Dan kita
seperti bergerak dalam kehilangan arah tuju.
Isu ini
merupakan isu yang baru berlaku. Ia mula berawal di zaman kita apabila Syeikh
Nasiruddin Al-Albaani di dalam kitabnya Sifatus Solah An-Nabi[1] mendakwa
disunatkan menggerakkan jari terlunjuk ketika bertasyahhud secara berterusan
sehingga salam dan selesainya solat. Beliau mendakwa perbuatan seperti inilah
yang sunnah dan sunat sebenarnya. Manakala perbuatan selainnya dikatakan tidak
sunnah.
Malangnya, ada sesetengah pihak begitu keras menuduh sebagian dari kita yang tidak melakukan amalan di atas (sebagaimana mereka) sebagai pembuat bid’ah yang sesat. Dan layak dimasukkan ke dalam neraka kerana dikatakan tidak mengikuti jalan yang diajarkan oleh Rasulullah. Untuk itu kita akan menelusuri dakwaan beliau. Sekaligus menjawab menjawab kemusykilan ini. Dan haanya kepada Allah SWT kita memohon taufik dan pertolongan.
Malangnya, ada sesetengah pihak begitu keras menuduh sebagian dari kita yang tidak melakukan amalan di atas (sebagaimana mereka) sebagai pembuat bid’ah yang sesat. Dan layak dimasukkan ke dalam neraka kerana dikatakan tidak mengikuti jalan yang diajarkan oleh Rasulullah. Untuk itu kita akan menelusuri dakwaan beliau. Sekaligus menjawab menjawab kemusykilan ini. Dan haanya kepada Allah SWT kita memohon taufik dan pertolongan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pembahasan hukum dan hadits tentang menggerakkan jari telunjuk saat duduk
tasyahud?
2.
Kapan
jari telunjuk berisyarat dalam duduk tasyahud dan kapan berakhir?
3.
Apakah
jari telunjuk digerak-gerakkan atau diam saja ketika duduk tasyahud?
C.
Tujuan Makalah
1.
Mengetahui
pembahasan hukum dan hadits tentang menggerakkan jari telunjuk saat duduk
tasyahud.
2.
Mengetahui
kapan jari telunjuk berisyarat dalam duduk tasyahud dan kapan berakhir.
3.
Mengetahui
apakah jari telunjuk digerak-gerakkan atau diam saja ketika duduk tasyahud.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum dan Hadist Tentang Menggerakkan Jari Telunjuk Saat Duduk
Tasyahud
Cara Dan Saat Memberi Isyarat Dengan Jari Telunjuk
Isyarat selama duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir, hanya dilakukan dengan satu jari tangan saja, yaitu jari telunjuk tangan kanan dengan sedikit membungkukkannya.
Isyarat selama duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir, hanya dilakukan dengan satu jari tangan saja, yaitu jari telunjuk tangan kanan dengan sedikit membungkukkannya.
“Nabi
pernah melihat seorang sahabat berdo’a sambil mengacungkan dua jarinya, lalu
sabdanya kepada orang itu: ‘Satu saja! Satu saja!’ [Seraya mengacungkan jari
telunjuk].” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan An-Nasa’i disahkan oleh Hakim dan
disetujui Dzahabi). Dari Numeir al-Khuza’i, katanya:
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang duduk dalam shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya, dengan membungkukkannya sedikit ketika berdoa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang cukup baik).
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang duduk dalam shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya, dengan membungkukkannya sedikit ketika berdoa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang cukup baik).
Tentang
bagaimana cara dan saat memberi isyarat dengan jari telunjuk tangan kanan
tersebut, terdapat beberapa pendapat. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk
itu digerak-gerakkan, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa jari telunjuk
itu tidak digerak-gerakkan. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk tersebut
digerak-gerakan secara terus menerus, sedangkan yang lain mengatakan hanya
digerak-gerakkan pada saat tertentu saja.
Memberi Isyarat Dengan Menggerakkan Jari Telunjuk. Mereka yang berpendapat harus menggerakkan jari telunjuk, berdalil
dengan hadits:
Dari
Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdo’a sambil menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdo’a sambil menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)
“(Gerakan
jari telunjuk) lebih ditakuti setan daripada (pukulan) besi. (HR.
Ahmad, Bazzar, Abu Ja’far, Bukhtari, Ath-Thabarani, Abdul Ghani Al-Muqaddasi,
Rauyani dan Baihaqi) “Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang tidak mengetahui perbuatan ini meniru perbuatan sahabat yang
mengetahuinya, yaitu menggerakkan telunjuknya sambil mengucapkan do’a.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad hasan) “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menggerakkan jari telunjuknya seraya berdo’a dengannya.” (HR.
An-Nasa’i).
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan ini dalam dua tasyahudnya
-tasyahud awal dan tasyahud akhir-.” (HR. An-Nasa’i dan Baihaqi dengan
sanad shahih).
Menggerakkan Secara Terus Menerus Dari Awal Tasyahud.
Dalam kitabnya Fi Shifat Ash-Shalat, Syaikh Al-Albani berkata: “Disunnahkan untuk terus berisyarat dengan telunjuk dan menggerak-gerakannya sampai salam karena do’a dilaksanakan sebelum salam dan ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan yang lainnya.” Dalam madzhab Imam Maliki, jari telunjuk digerakkan ke kiri dan ke kanan ketika duduk tasyahud hingga selesai shalat.
Dalam kitabnya Fi Shifat Ash-Shalat, Syaikh Al-Albani berkata: “Disunnahkan untuk terus berisyarat dengan telunjuk dan menggerak-gerakannya sampai salam karena do’a dilaksanakan sebelum salam dan ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan yang lainnya.” Dalam madzhab Imam Maliki, jari telunjuk digerakkan ke kiri dan ke kanan ketika duduk tasyahud hingga selesai shalat.
Menggerakkan Pada Waktu Berdoa. Sebagian
ulama berpendapat bahwa menggerakkan jari telunjuk tidak dimulai dari awal
tasyahud, akan tetapi dimulai dari awal do’a. Pendapat ini juga dipegang oleh
Syaikh Ibnu Utsaimin. Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam
bukunya Fatawa Arkanul Islam:
Menggerakkan
jari telunjuk dilakukan pada waktu berdoa, bukan di semua waktu tasyahud. Jika
kamu berdoa di waktu tasyahud, maka gerakkan jari telunjukmu, seperti yang
dijelaskan dalam sebuah hadits, “Menggerakkannya seraya berdoa
dengannya….”
….Tempat-tempat
berdoa dalam tasyahud adalah:
“Assalamu ‘alaika ayyuha an-nabiyu wa rahmatullah wa barakatuhu. Assalamu ‘alaina wa ‘ala ibadillahi Ash-Shalihin. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. A’udzu billahi min ‘Adzabi Jahannam, wa min ‘adzabi al-qabr, wa min fitnati al-mahya wa al-mamat, wa min fitnati masihi ad-dajjal.”
“Assalamu ‘alaika ayyuha an-nabiyu wa rahmatullah wa barakatuhu. Assalamu ‘alaina wa ‘ala ibadillahi Ash-Shalihin. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. A’udzu billahi min ‘Adzabi Jahannam, wa min ‘adzabi al-qabr, wa min fitnati al-mahya wa al-mamat, wa min fitnati masihi ad-dajjal.”
Di
delapan tempat itulah yang perlu kita gerakkan jari telunjuk kita ke arah
langit. Di sunnahkan juga ketika berdoa di selain delapan tempat itu untuk mengangkatnya;
karena kaidah umumnya adalah disunnahkan mengangkat jari telunjuk pada setiap
doa.
Memberi Isyarat Dengan Tidak Menggerakkan Jari Telunjuk. Yang berpendapat tidak menggerakkan jari telunjuk berpegangan pada
hadits: Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk dengan jari saat berdo’a dan tidak menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban, hadits ini didhaifkan oleh syaikh Al-Albani). Dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Az-Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ketika berdo’a dan tidak menggerakkannya. Tambahan hadits ini (dan tidak menggerakkannya) masih perlu ditinjau keshahihannya.”
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk dengan jari saat berdo’a dan tidak menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban, hadits ini didhaifkan oleh syaikh Al-Albani). Dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Az-Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ketika berdo’a dan tidak menggerakkannya. Tambahan hadits ini (dan tidak menggerakkannya) masih perlu ditinjau keshahihannya.”
Syaikh
Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim,
berasumsi bahwa tambahan tersebut (dan tidak menggerakkannya) menyimpang. Ini
bisa dilihat dari:
Pertama, Muhammad bin ‘Ijlan tidak menetapkan hadits yang menyatakan, “Tidak adanya gerakan.” Kedua, pendapat Ibnu ‘Ijlan berseberangan dengan riwayat mereka yang tidak menyebutkan redaksi “Tanpa gerakan”. Mereka itu adalah Utsman bin Hakim, dan ‘Ashim bin Kulaib. ‘Ashim lebih tsiqah daripada Muhammad bin ‘Ijlan, seperti terlihat dari hasil terjemahannya dalam At-Tahzib.
Pertama, Muhammad bin ‘Ijlan tidak menetapkan hadits yang menyatakan, “Tidak adanya gerakan.” Kedua, pendapat Ibnu ‘Ijlan berseberangan dengan riwayat mereka yang tidak menyebutkan redaksi “Tanpa gerakan”. Mereka itu adalah Utsman bin Hakim, dan ‘Ashim bin Kulaib. ‘Ashim lebih tsiqah daripada Muhammad bin ‘Ijlan, seperti terlihat dari hasil terjemahannya dalam At-Tahzib.
B.
Pembahasan Apakah Jari Telunjuk Digerakkan atau Diam Saja ketika Duduk
Tasyahud
Hadits-Hadits yang Menyatakan Jari Telunjuk Tidak Digerakkan
Sama Sekali. Sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal
tersebut.
Hadits Pertama
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا
“Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini sebagai Berikut:
Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawa kib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.•
Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata A khbarani (memberitakan kepadaku). •
Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).•
‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).• ‘
Abdullah bin Zubair. Sahabat.
Derajat Hadits
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.
Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
• Pertama: Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.
• Syadz karena menyelisihi. Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah
رِوَايَةُ الْمَقْبُوْلِ مُخَالِفًا لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ
“Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.
Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.
Maka kami melihat bahwa lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajl an karena beberapa perkara :
1.Muhammad bin ‘Ajl an walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.
2.Riwayat Muhammad bin ‘Ajl an juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .
3.Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajl an dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :
a.Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.
b.Abu Kha lid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.
c.Yahya bin Sa’id Al-Qothth on, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.
d.Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.
e.Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Akan tetapi, Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
4.Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘ Amir bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) , maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut.
Tiga orang ini adalah :
a.‘Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Aw anah 2/241 dan 246.
b.Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.
c.Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nas ai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajl an. Wallahu A’lam.
Hadits Yang Kedua
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam mengerjakannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.
Derajat Hadits
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid.
Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar.
Tujuh rawi tersebut adalah :
1.Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2.Isma‘il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3.Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4.Yahya bin Sa’ id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5.Wuhaib bin Kh alid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.6. ‘Abdul ‘Azi z bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7.Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
a.Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .
b.Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-’Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) . Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobara ny dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
Kesimpulan: Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah .
Hadits-Hadits yang Menyatakan Bahwa Jari Telunjuk Digerak-Gerakkan
Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :
ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا
Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.
“Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghda dy dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syih ab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.
Derajat Hadits
Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz.
Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah.
Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan) .
Dua puluh dua rawi tersebut adalah:
1.Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu D aud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobara ny 22/37 no.86.
2.Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobar any 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
3.Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nas ai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
4.Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nas ai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobar any 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
5.‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu M ajah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
6.‘Abdul Wa hid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
7.Zuhair bin Mu’ awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
8.Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahh an, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
9.Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
10.Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoy alisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
11.Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
12.Ghailan bin J ami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
13.Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/33 no.79.
14.Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
15.‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/37 no.87.
16.Musa bin Abi ‘ Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
17.Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
18.Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
19.‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
20.Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
21.‘Abdul ‘Azi z bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
22.Abu Badr Syuj a‘ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.
Kesimpulan: Penyebutan lafazh yuharrikuha (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah . Wallahu A’lam.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan perbedaan tersebut terdiri dari tiga pendapat :
Pertama: Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hambaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.
Kedua: Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dari kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan Syafiiyyah.
Ketiga:
Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam keadaan berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh Al-Albany – rahimahullahu ta’ala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak. Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan.
“Namun, dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah.”
Adapun cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang ketiga itu bisa digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa dipakai berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang shohih yang telah tersebut di atas bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau.
Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz … (Arab) yang artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya adalah bahwa kata “berIsyaratt” itu mempunyai dua kemungkinan:
Pertama: Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.
Kedua: Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : “Dimana letak kitab Shohih Al-Bukhory?” Maka tentunya saya akan mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih Al-Bukhory yang berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.
Walaupun kata “berisyarat” itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena dua perkara :
Pertama: Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan bahwa Ash Sholatu Tauqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah), maksudnya adalah tata cara sholat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak digerak-gerakkan.
Kedua: Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary N0. dan Imam Muslim No.538 :
إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً
”Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan”
Maka ini menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an atau hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam yang shohih.
Kesimpulan: Tersimpul dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud adalah tidak digerak-gerakkan. Wallahu A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam :• Kitab Al-Bisyarah Fi Syudzudz Tahrik Al-Usbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah , Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar, ‘Aunul Ma’bud 3/196, Tuhfah Al-Ahwadzy 2/160. • Madzhab Hanafiyah lihat dalam: Kifayah Ath-Tholib 1/357.• Madzhab Malikiyah: Ats-Tsamar Ad Dany 1/127, Hasyiah Al-Adawy 1/356, Al-Fawakih Ad-Dawany 1/192.• Madzhab Syafiiyyah dalam: Hilyah Al-Ulama 2/105, Raudhah Ath-Tholibin 1/262, Al-Majmu‘ 3/416-417, Al-Iqna‘ 1/145, Hasyiah Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muht aj 1/173.• Madzhab Hambaliyah lihat dalam: Al-Mubdi’ 1/162, Al-Furu‘ 1/386, Al-Inshaf 2/76, Kasyful Qon a 1/356-357.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا
“Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini sebagai Berikut:
Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawa kib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.•
Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata A khbarani (memberitakan kepadaku). •
Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).•
‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).• ‘
Abdullah bin Zubair. Sahabat.
Derajat Hadits
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.
Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
• Pertama: Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.
• Syadz karena menyelisihi. Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah
رِوَايَةُ الْمَقْبُوْلِ مُخَالِفًا لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ
“Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.
Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.
Maka kami melihat bahwa lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajl an karena beberapa perkara :
1.Muhammad bin ‘Ajl an walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.
2.Riwayat Muhammad bin ‘Ajl an juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .
3.Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajl an dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :
a.Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.
b.Abu Kha lid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.
c.Yahya bin Sa’id Al-Qothth on, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.
d.Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.
e.Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Akan tetapi, Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
4.Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘ Amir bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) , maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut.
Tiga orang ini adalah :
a.‘Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Aw anah 2/241 dan 246.
b.Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.
c.Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nas ai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajl an. Wallahu A’lam.
Hadits Yang Kedua
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam mengerjakannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.
Derajat Hadits
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid.
Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar.
Tujuh rawi tersebut adalah :
1.Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2.Isma‘il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3.Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4.Yahya bin Sa’ id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5.Wuhaib bin Kh alid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.6. ‘Abdul ‘Azi z bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7.Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
a.Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .
b.Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-’Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) . Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobara ny dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
Kesimpulan: Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah .
Hadits-Hadits yang Menyatakan Bahwa Jari Telunjuk Digerak-Gerakkan
Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :
ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا
Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.
“Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghda dy dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syih ab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.
Derajat Hadits
Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz.
Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah.
Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan) .
Dua puluh dua rawi tersebut adalah:
1.Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu D aud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobara ny 22/37 no.86.
2.Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobar any 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
3.Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nas ai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
4.Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nas ai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobar any 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
5.‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu M ajah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
6.‘Abdul Wa hid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
7.Zuhair bin Mu’ awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
8.Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahh an, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
9.Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
10.Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoy alisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
11.Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
12.Ghailan bin J ami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
13.Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/33 no.79.
14.Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
15.‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/37 no.87.
16.Musa bin Abi ‘ Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
17.Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
18.Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
19.‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
20.Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
21.‘Abdul ‘Azi z bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
22.Abu Badr Syuj a‘ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.
Kesimpulan: Penyebutan lafazh yuharrikuha (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah . Wallahu A’lam.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan perbedaan tersebut terdiri dari tiga pendapat :
Pertama: Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hambaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.
Kedua: Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dari kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan Syafiiyyah.
Ketiga:
Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam keadaan berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh Al-Albany – rahimahullahu ta’ala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak. Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan.
“Namun, dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah.”
Adapun cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang ketiga itu bisa digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa dipakai berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang shohih yang telah tersebut di atas bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau.
Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz … (Arab) yang artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya adalah bahwa kata “berIsyaratt” itu mempunyai dua kemungkinan:
Pertama: Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.
Kedua: Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : “Dimana letak kitab Shohih Al-Bukhory?” Maka tentunya saya akan mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih Al-Bukhory yang berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.
Walaupun kata “berisyarat” itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena dua perkara :
Pertama: Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan bahwa Ash Sholatu Tauqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah), maksudnya adalah tata cara sholat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak digerak-gerakkan.
Kedua: Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary N0. dan Imam Muslim No.538 :
إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً
”Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan”
Maka ini menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an atau hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam yang shohih.
Kesimpulan: Tersimpul dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud adalah tidak digerak-gerakkan. Wallahu A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam :• Kitab Al-Bisyarah Fi Syudzudz Tahrik Al-Usbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah , Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar, ‘Aunul Ma’bud 3/196, Tuhfah Al-Ahwadzy 2/160. • Madzhab Hanafiyah lihat dalam: Kifayah Ath-Tholib 1/357.• Madzhab Malikiyah: Ats-Tsamar Ad Dany 1/127, Hasyiah Al-Adawy 1/356, Al-Fawakih Ad-Dawany 1/192.• Madzhab Syafiiyyah dalam: Hilyah Al-Ulama 2/105, Raudhah Ath-Tholibin 1/262, Al-Majmu‘ 3/416-417, Al-Iqna‘ 1/145, Hasyiah Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muht aj 1/173.• Madzhab Hambaliyah lihat dalam: Al-Mubdi’ 1/162, Al-Furu‘ 1/386, Al-Inshaf 2/76, Kasyful Qon a 1/356-357.
C.
Pembahasan Kapan Jari Telunjuk Mulai Berisyarat dan Kapan Berakhir
Syakir Jamaluddin, M.A. dalam bukunya Shalat Sesuai Tuntunan Nabi
SAW mengatakan bahwa hadist menunjuk dalam tahiyyat, tidak ada hadist dari nabi
yang secara tegas menjelaskan kapan waktu menunjuk atau menggerakkan telunjuk
kecuali disebut saat berdo’a. Ada yang berpendapat bahwa menggerakkan telunjuk
satu kali pada saat tasyahud ketika dalam syahadat menyebut Illa-llah (kecuali
hanya Allah) sebagai oerlambang tauhid yakni mengesakan Allah SWT lalu berdoa.
Hanya saja hingga saat ini, penulis tetap tidak menemukan redaksi hadist yang
menyebutkan demikian, kecuali menunjuk saat berdoa. Bisa jadi pada saat berdoa
as-salamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu...., atau bisa jadi pula saat berdoa
Allahumma soli’ala muhammad..., bahkan bisa jadi saat mulai berdoa
attahiyatu... . sebab satu-satunya riwayat yang menjelaskan waktu menunjuk
adalah hadist gharib riwayat al-baihaqi yang disandarkan al-Qasim bin Muhammad
kepada ‘aisyah ra bahwa: “Pernah ‘aisyah mengajarkan kami tasyahud, dan
menunjuk dengan tangannya sambil berdoa:
Attahiyyatu-thayibatush-salawatus-zakiyatu lillah, assalamu ‘alan-nabiyyi...”[2]
Hanya saja hadist al-Baihaqi ini pun agak bermasalah disamping
karena ketidakjelasan pada abu Ali Al-Husayn, juga karena riwayat ini mauquf
yakni hanya sampai ‘aisyah ra. Tetapi isyarat dari hadist shohih bahwa Nabi SAW
ketika duduk tasyahud menggenggam jari-jarinya lalu membuat lingkaran kemudian
mengangkat telunjuknya (HSR. Muslim), menunjukkan beliau mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud sampai
akhir. Mengenai menggerak-gerakkan telunjuk saat tahiyyat, memang ada hadist
yang berasal dari Wa’il yang berbunyi: “Kemudian beliau mengangkat telunjuknya
lalu aku melihat beliau menggerak-gerakkannya untuk berdoa dengannya.” (HR.
Al-Nasa’i, Ahmad, dari Wa’il bin Hujr ra).[3]
Tetapi hadist yang lebih kuat yaitu dari Abdullah bin Al-Zubayr
bahwa nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuk saat berdoa
berbunyi: “Beliau menunjuk dengan telunjuknya ketika berdoa, dan tidsk
menggerak-gerakkannya” (HSR. Al-Nasai, Abu Dawud, dari Abdullah bin
Al-Zubair)[4] Jika langsung menggunakan metode
tarjih, maka hadist yang tidak menggerak-gerakkanlah yang harus dipegangi,
sedangkan hadist yang menggerak-gerakkan karena kontroversial dan bermasalah
(yakni: syadz: menyimpang) ditinggalkan. Tetapi sebagian ulama tetap berupaya
mengkompromikan kedua hadist tersebut.
Al-Baihaqi berusaha mengkompromikan hadist ini dengan membahas
makna yukharikuha dalam hadist Wa’il yang tidak selalu bermakna
lit-tikrar (untuk pengulangan). Sehingga berarti menggerak-gerakkannya, tapi
bisa juga berarti menggerakkannya saja yakni untuk menunjuk. Jika diartikan
demikian maka menurut Al-Baihaqi sudah tidak lagi bertentangan dengan hadist
tidak menggerakkan telunjuknya riwayat Abdullah bin Al-Zubair[5] Dari beberapa keterangan diatas dapat disimpulkan
bahwa setelah dududk dengan tenang, nabi menggerakkan telunjuknya untuk
menunjuk satu kali diawal duduk saat mulai membaca tasyahud: Attahiyyatu....,
namun tidak menngerak-gerakannya secara keseluruhan karena disamping hadistnya
syadz (menyimpang sendiri) juga menyalahi prinsip tuma’ninah (tenang) dalam
shalat.
D.
Analisis
Pada dasarnya ibadah itu haram kecuali ada dalil yang
membolehkannya. Sedangkan muamalah pada dasarnya adalah halal kecuali ada dalil
yang mengharamkannya. Dalam kasus waktu berisyarat jari telunjuk saat duduk
tasyahud banyak ulama yang berselisih apakah digerakkan sesekali,
digerak-gerakkan selalu atau bahkan tidak digerakkan. Menurut pendapat kami,
bila melihat pada hadis-hadis diatas, kami memilih untuk tidak digerakkan
karena banyak pendukung untuk hadis yang tidak menggerak-gerakkan dan para
perawinya dapat dipercaya.
Waktu untuk berisyarat
jari telunjuk menurutanalisa kami adalah saat awal berdoa
(attahiyyattulillah.....) dan batas akhir berisyarat adalah ketika selesai doa
(innaka khamii dummajid) sesuai dengan satu-satunya hadis yang menjelaskan
waktu menunjuk adalah hadis gharib riwayat al-baihaqi yang disandarkan al-Qasim
bin Muhammad kepada ‘Aisyah ra “pernah ‘Aisyah mengajarkan kepada kami
tasyahud, dan membujuk dengan tangannya sambil berdo’a: Attahiyattu......”.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Para ulama berselisih dalam masalah ini. Kebanyakan ulama memilih pendapat
jari telunjuk tidak digerakkan pada saat isyarat tasyahud dikarenakan hadits
Wail bin Hujr radhiallahu ‘anhu riwayat Al Baihaqi (2615) tentang menggerakkan
jari pada saat tasyahud itu adalah hadits syadz dari jalur Zaidah bin Qudamah.
Ibnu Khuzaimah dan Al Baihaqi juga mengisyaratkan tentang kesyadzan hadits ini.
Hadits ini menyelisihi riwayat-riwayat lain yang lebih shahih yang tidak
menerangkan tentang adanya penggerakan jari telunjuk pada saat duduk tasyahud
tersebut. Bahkan ada riwayat yang lebih jelas yang menerangkan tentang hal ini
dari Abdullah ibnu Az Zubair radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa
Rasulullah صلى الله عليه وسلم memberikan
isyarat dengan telunjuknya ketika berdoa (di waktu tasyahud) dan tidak
menggerakkannya. Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Daud (989) dan An Nasa`i (888)
dengan sanad yang hasan.
Akan
tetapi, itu semua adalah ijtihad karena tidak adanya dalil yang secara tegas
menyebutkan hal ini, sehingga antara satu ulama dengan ulama lainnya sangat
mungkin berbeda pandangan. Selama dalil yang sangat teknis tidak atau belum
secara spesifik menegaskannya, maka pintu ijtihad lengkap dengan perbedaannya
masih sangat terbuka luas. Dan tidak ada orang yang berhak menyalahkan
pendapat orang lain, selama masih di dalam wilayah ijtihad. Pendeknya, yang
mana saja yang ingin kita ikuti dari ijtihad itu, semua boleh hukumnya asal
semuanya sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Wallahu a’lam bishshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Jamaluddin, Syakir.2008.Shalat
Sesuai Tuntunan Nabi saw.Yogyakarta: LPPI UMY.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis
Tarjih. 2009. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta:
Gramasurya.

[1] Buku
karangan Syeikh al-Baani ini telah diterjemahkan ke dalam edisi Bahasa Melayu
oleh Us Abdullah Qari Hj Salleh dan Us Hussien Yee dan lain-lain berjudul
“Ciri-ciri Solat Nabi SAW.
[2]HR.
Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, juz 2 hlm 144.
[3]HR.
Al-Nasa’i: 889, 1268; Ahmad: 18391, 18890; al-Darimi: 1357; Ibn Hibban: 1860,
melalui ‘Ashim bin Kulayb bin Syihab dari Bapaknya, dari Wa’il bin Hujr.
[4]HSR.
Al-Nasa’i: 1270; Abu Dawud: 989; al-Bayhaqi: 2615; Abd al-Razzaq: 3242, dari
Abdullah bin al-Zubayr ra.
[5]Al-Bayhaqi, al-Sunan
al-Kubra, juz 2, hlm 131-132.
Harrah's Lake Tahoe Casino & Hotel - jtmhub.com
BalasHapusHarrah's Lake Tahoe is an 경주 출장안마 18-story high-rise building 동두천 출장샵 in Stateline, Nevada, U.S.A.. 영주 출장샵 View 계룡 출장안마 a detailed profile 김포 출장마사지 of the structure 12230 including further data