KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
wr.wb.
Segala puji kami haturkan atas Kehadirat Ilahi Robbi dan memanjatkan
Puji Syukur atas segala nikmat yang diberikan kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas kami dengan lancar tanpa halangan suatu apapun. Kami
mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT yang telah memudahkan kami dalam mengerjakan
tugas, kepada kedua orang tua kami yang selalu memberika motivasi dalam
belajar, dan dosen pemimbing Mata Kuliah Ushul Fiqih, Bpk. Homaidi Hamid, S.
Ag., M. Ag. Yang telah membimbing kami dalam mata kuliah ini, lain dari pada
hal itu kami juga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada semua teman-teman
kelas B, semoga kelak kita semua bisa menjadi orang-orang yang bermanfaat bagi
agama, nusa, bangsa, dan semoga kita semua benar-benar mampu menggapai
maqom ulul albab, yaitu derajatnya orang-orang yang mulia, yang berilmu
pengetahuan luas serta berakhlak mulia,amin…
Disini kami menghadirkan dasar-dasar
hukum Islam yang tidak terdapat dalam Al –Qur’an maupun Al-Hadits, dan
dasar-dasar hukum ini sering di perbincangkan dan di perselisihkan oleh para
ulama’, dasar-dasar hukum tersebut yaitu : Istihsan, Mashlahah
Murshalah, dan Saddudz-Dzari’ah, dan makalah ini hadir untuk membicarakan
bagaimana hukum terbentuk melalui dasar-dasar yang telah kami sebutkan tadi,
Semoga saja makalah ini bermanfaat buat kita semua. Amin…
Dalam penugasan ini,
kami menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi susunan serta cara
penulisan, karenanya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
Resume ini sangat kami harapkan. Sekian prakata dari kami, apabila ada
kekurangan kami mohon maaf.
Wassalamualikum
wr.wb.
Yogyakarta,
26 Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
A. KATA
PENGANTAR ..............................................................................
1.
B. DAFTAR
ISI ..............................................................................
2.
C. BAB
I
PENDAHULUAN ..............................................................................
3.
a. Latar
Belakang ..............................................................................
3.
b. Tujuan ..............................................................................
3.
c. Rumusan
Masalah ..............................................................................
4.
BAB II
PEMBAHASAN ..............................................................................
4.
a. Istihsan ..............................................................................
4.
b. Mashlahah
Murshalah ..............................................................................
10.
c. Saddudz-Dzari’ah ..............................................................................
15.
D. PENUTUP ..............................................................................
17.
a. Kesimpulan ..............................................................................
17
b. Kritik
dan Saran ..............................................................................
18.
E. DAFTAR
PUSTAKA ..............................................................................
18.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus
dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum
dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan
akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar
proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang
semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa
penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan
istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu
sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul
Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di
kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah
(sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau
“Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan
penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber
hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah
(sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir
Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati
oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh
tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah
mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi. Oleh sebab itu, makalah ini akan membahas
tentang sumber yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad yaitu: Istihsan,
Maslahah mursalah, Saddudzari’ah.
B. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai sarana untuk
belajar bagi siapa saja yang membacanya, selain itu juga sebagai
bahan untuk berdiskusi. Sehingga diharapkan dengan makalah ini pembaca mendapatkan
manfaat dan bertambah wawasan.
C. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan Istihsan ?
2.
Apa yang dimaksud dengan Mashlalah Mursalah?
3. Apa
yang dimaksud dengan
Saddud-Dzari’ah ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
ISTIHSAN
A.
Definisi Istihsan :
Istihsan menurut bahasa adalah : menganggap sesuatu itu baik.
Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih ialah : Berpalingnya seorang
mujtahid dari tuntutan Qiyas yang jali (nyata)
kepada tuntutan Qiyas yang khafy
(samar), atau dari hukum kulli (umum)
kepada hukum istitsnay (pengecualian)
ada dalil yang meyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.
Apabila terjadi suatu kejadian dan tidak ada nash mengenai
hukum-nya, dan untuk menganalisisnya terdapat dua aspek yang berbeda, yaitu :
Pertama : Aspek
yang nyata yang menurut suatu hukum tertentu,
Kedua : Aspek
yang tersembunyi yang menghendaki hukum lain.
Selanjutnya pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan
segi analisis yang tersembunyi, lalu ia berpaling dari aspek analisis yang
nyata, maka ini disebut dengan nama : Istihsan,
menurut istilah syara’. Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum), namun pada diri si
mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum yang
bersifat kulli (umum) tersebut dan menuntut hukum lainnya, maka ini juga
menurut syara’ disebut dengan Istihsan.
B.
Macam-macam Istihsan
Dari definisi Istihsan menurut syara’ jelaslah bahwasannya istihsan
ada dua macam, yaitu :
Pertama : Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena ada suatu dalil.
Kedua : Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Di antara beberapa contoh dari macam yang pertama istihsan ialah:
1.
Fuqaha
Hanafiyyah menyebutkan, bahwasanya seorang pewakaf apabila mewaqafkan sebidang
tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak pengairan (irigasi), hak
air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkannya, berdasarkan
istihsan.
Menurut qiyas, semuanya ini tidak termasuk kecuali bila terdapat
nash yang menyebutkannya sebagaimana jual beli.
Segi istihsan ialah: bahwasanya yang menjadi tujuan daripada wakaf
adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. padahal pemanfaatan
tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya,
dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal tersebut juga termasuk dalam wakaf
meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisir
kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.
Qiyas yang nyata adalah mempersamakan wakaf ini dengan jual beli,
karena masing-masing dari wakaf dan jual beli merupakan pengeluaran hak milik
dari pemiliknya. Sedangkan qiyas yang khafi (tersembunyi) mempersamakan wakaf
ini dengan sewa-menyewa, karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan untuk
dimanfaatkan. Maka sabagaimana masuknya pengairan (irigasi), air minum, dan
jalan dalam menyewakan tanah meskipun tanpa menyebutkannya, maka semuanya itu juga masuk di dalam wakaf tanah, tanpa
harus menyebutkannya.
2.
Fuqaha
Hanafiyyah menyebutkan bahwasanya apabila si penjual dan si pembeli bersengketa
mengenai jumlah harga sebelum serah terima barang yang dijual, kemudian si
penjual mengaku bahwasanya harganya adalah sertatus juneh, maka bereka berdua
bersumpah berdasarkan istihsan.
Berdasarkan qiyas, si penjual tidak bersumpah, karena si penjual
itu menuntut tambahan, yaitu “sepuluh”, sedangkan si pembeli mengingkarinya.
Bukti atas orang yang menuntut dan sumpah atas orang yang mengingkarinya. Oleh
karena itu si penjual tidak wajib bersumpah.
Segi istihsannya ialah, bahwasanya si penjual pada lahirnya
menuntut tambahan dan mengingkari hak si pembeli dalam penerimaan barang yang
dijual setelah ia menyerahkan sembilan puluh juneh. Sedangkan si pembeli pada
lahirnya mengingkari tambahan yang dituntutkan oleh si penjual, yaitu sepuluh
juneh dan menuntut hak penerimaannya terhadap barang yang dijual setelah ia
menyerahkan sembilan puluh juneh. Dengan demikian, sebenarnya masing-masing
dari kedua belah pihak adalah pendakwa dari satu segi dan mengingkari dari sisi
lainnya, oleh karena itu, maka mereka berdua saling bersumpah.
Jadi berdasarkan qiyas yang nyata, ialah : mempersamakan kasus ini
dengan segala kejadian yang terjadi antara pendakwa dan terdakwa yang ingkar,
maka bukti adalah wajib atas orang yang mendakwa dan sumpah adalah wajib atas
orang yang mengingkari dakwaan itu.
Sedangkan menurut qiyas yang tersembunyi ialah : mempersamakan
kasus ini dengan setiap kejadian yang terjadi antara dua orang yang saling
mendakwa, di mana masing-masing dari kedua belah pihak pada waktu yang sama
dianggap sebagai pendakwa dan pengingkar, maka mereka saling bersumpah.
3.
Fuqaha
Hanafiyyah menyebutkan, bahwasanya sisa minuman burung yang buas, seperti
burung nasar, burung gagak, burung elang, burung rajawali, adalah suci
berdasarkan istihsan, dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah
bahwasanya ia merupakan sisa minuman binatang yang dagingnya haram dimakan,
sebagaimana sisa minuman binatang buas seperti : harimau, macan tutul, singa,
dan serigala. Hukum sisa makanan binatang mengikuti hukuman dagingnya.
Sedangkan segi istihsannya ialah bahwasanya jenis burung yang buas,
meskipun dagingnya diharamkan, hanya saja air liurnya yang keluar dari
dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya, karena ia minum dengan
paruhnya, padahal ia adalah tulang yang suci. Adapun binatang buas, maka ia
minum dengan lidahnya yang bercampur dengan air liurnya. Oleh karena inilah maka
sisa minumannya najis.
Pada setiap contoh dari beberapa contoh tersebut terdapat
pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama adalah qiyas yang
nyata yang mudah difahami, dan kedua adalah qiyas yang tersembunyi yang agak
rumit untuk difahami, namun si mujtahid mempunyai dalil yang memenangkan qiyas
yang tersembunyi, kemudian ia berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini
adalah “istihsan”. Dan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi istihsannya.
Di antara contoh macam istihsan yang kedua ialah sebagai berikut :
Syari’ (Pembuat hukum : Allah) melarang terhadap jual beli benda
yang tidak ada dan mengadakan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, namun Dia
memberikan kemurahan secara istihsan pada salam (pemesanan), sewa menyewa, muzara’ah
(akad bagi hasil penggarapan tanah), musaqat (akad bagi hasil
penyiraman tanah), dan istishna’ (akad jasa pengerjaan sesuatu).
Semuanya itu adalah akad, sedangkan sesuatu yang diakadkan tidak ada pada waktu
akad berlangsung. Segi istihsannya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
Fuqaha menyebutkan bahwasanya orang yang diberi amanat mengganti
rugi sesuatu yang mati di luar pengetahuannya, karena ketidak-tahuannya itu
merupakan bentuk penganiayaan. Dan berdasarkan istihsan dikecualikan kematian
si ayah, atau kakek atau orang yang diwasiati tanpa sepengetahuan. Segi
istihsannya adalah bahwasanya si ayah, atau si kakek, dan orang yang diwasiati,
masing-masing dari mereka berhak menafkahkan atas anak kecil dan memalingkan
sesuatu yang dibutuhkannya. Boleh jadi apa yang tidak diketahuinya itu
sebenarnya telah dipergunakannya untuk kepentingan si anak itu.
Fuqaha juga menyebutkan bahwasanya orang yang diberi amanat
tidaklah mengganti kecuali disebabkan penganiayaan atau kelalaian dalam
memelihara, dan berdasarkan istihsan dikecualikan orang yang menyewa dengan
persekutuan. Ia menanggung resiko atau mengganti rugi, kecuali apabila rusaknya
sesuatu yang ada padanya disebabkan suatu kekuatan yang memaksa. Segi
istihsannya ialah jaminan penyewa.
Mereka juga menyebutkan bahwasanya orang yang berada dibawah
pengampunan (mahjur ‘alaih) karena bodoh, maka perbuatan baiknya tidak
sah, dan berdasarkan istihsan dikecualikan wakafnya atas dirinya selama masa
hidupnya. Segi istihsannya ialah bahwasanya wakafnya atas dirinya sendiri
merupakan pengamanan tanah miliknya dari penyerobotan. Ini adalah sesuai dengan
tujuan pengampunan terhadapnya.
Pada setiap misal dari beberapa contoh tersebut ada pengecualian
kasuistis dari hukum kulli (umum) karena ada dalil. Inilah yang menurut istilah
disebut dengan istihsan.
C. Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya
jelaslah bahwasanya pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri
sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya
berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jeas,
karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si
mujtahid. Itulah segi istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah
bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum
kulli (umum), dan ini juga yang
disebut dengan segi istihsan.
Mereka yang mempergunakan
hujjah berupa istihsan, mereka ini kebanyakan dari ulama Hanafiyyah, maka dalil
mereka terhadap kehujjahannya, ialah : bahwasannya beristidlal dengan istihsan
merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata, atau ia merupakan pentarjihan
suatu qiyas atas qiyas yang kontradiksi dengannya, dengan adanya dalil yang
menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal dengan kemaslahatan mursalah
(umum) berdasarkan pngecualian kasuistis dari hukum yang kulli (umum). Semuanya ini merupakan
istidlal yang shahih.
D.
Kesamaran Orang yang Tidak Berhujjah dengan Istihsan
Sekelompok mujtahid mengingkari terhadap istihsan sebagai hujjah
dan mereka menganggapnya sebagai beristinbath terhadap hukum syara’ berdasarkan
hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh ulama kelompok ini adalah Imam
Asy-Syafi’i. Menurut sebuah riwayat, bahwa ia berkata :
مَنِ
اسْتَحْسَنَ فَقَدَ شَرَّعَ (وَمَنَ شَرَّعَ فَقَدْ كَفَرَ)
Artinya :
"Sesiapa yang
beristihsan (menyangka baik satu-satu amalannya yang direka), bererti dia telah
membuat satu syariat (dan sesiapa yang membuat syariat, maka ia sudah
kafir)"
Maksudnya orang tersebut telah memulai hukum syara’ dari dirinya
sendiri.
Dalam kitab Risalah Ushuliyyahnya,
Asy-Syafi’i menetapkan :
مَثَلُ مَنْ
اِسْتَحْسَن حَكْمًا مِثْلُ مِنِ اتَّجَه فِي الصَّلاَةِ
اِلَي جِهَةٍ اِسْتَحْسَنَ اَنَّهَا الكَعْبَةُ مِنْ غَيْرِ
اَنْ يَقُوْمَ لَهُ دَلِيْل مِنَ الْاَدِلَّةَ الَّتِى
اَقَا مَهَا الشَّارِعُ لِتَعْيِيْنِ الْاِتْجَاَهِ اِلَى
الْكَعْبَةِ .
Artinya :
“Perumpamaan orang beristihsan terhadap hukum adalah seperti orang
yang menghadap suatu arah di dalam shalatnya dimana ia beranggapan baik bahwa
arah tersebut adalah Ka’bah, namun tidak ada dalil baginya dari berbagai dalil
yang telah dikemukakan oleh Syari’ untuk menentukan arah Ka’bah”.
Dan di dalam
kitab tersebut ia juga berkata :
اَلْاِسْتِحْسَانُ
تَلَذُّذ. وَلَوْ جَازَ الاخْذُ بِالاِسْتِحْسَانِ فِى الدّيْنِ جَازَ ذللكَ
لِاَهْلِ الْعَقُوْلُ مِنْ خَيْرٍ اَهْلِ العِلْمِ، وَلَوْجَازَ اَنْ يَشْرِعَ فى
الدّين فى كُلّ بَابٍ وَاَنْ يَخْرجَ كُلٌّ اَحَدٍ لِنَفْسِه شَرْعًا .
Artinya :
“Istihsan
adalah mencari enak. Kalau sekiranya berdasarkan istihsan dalam agama itu
boleh, niscaya hal itu boleh juga bagi kaum rasional yang tidak ahli ilmu
agama, dan niscaya boleh pula mensyari’atkan agama pada setiap bab, serta boleh
pula setiap orang mengeluarkan hukum syara’ untuk dirinya sendiri”.
Yang jelas bagi
saya, bahwasanya kedua kelompok yang bertentangan pendapat mengenai istihsan
tidak sepakat mengenai pembatasan pengertiannya. Orang-orang yang mempergunakan
istihsan sebagai hujjah memaksudkan makna istihsan tidak seperti yang
dikehendaki oleh orang-orang yang tidak menjadikannya sebagai hujjah. Kalau
sekiranya mereka sepakat terhadap batasan pengertiannya, niscaya mereka tidak
akan berbeda pendapat mengenai menjadikan istihsan sebagai hujjah, karena
sesungguhnya istihsan setelah ditahqiqkan adalah perpindahan dari dalil yang
zhahir atau dari hukum yang kulli (umum)
karena ada dalil yang menuntut perpindahan ini. Jadi ia bukan semata-mata
pembentukan syari’at berdasarkan hawa nafsu.
Setiap hakim
terkadang muncul pada akalnya suatu kemaslahatan yang hakiki dalam berbagai
kasus, yang menuntut pemalingan hukum pada kasus-kasus tersebut dari apa yang
dituntut oleh zhahir undang-undang. Hal ini tidak lain adalah bentuk dari
istihsan.
Oleh karena
inilah, maka Imam Asy-Syathibi dalam kitab Al-Muwafaqat berkata : “Barang siapa
yang mempergunakan dalil istihsan, ia tidaklah kembali kepada semata-mata
perasaannya dan kemauannya saja, akan tetapi ia kembali kepada apa yang telah
ia ketahui daripada tujuan Syari’ secara keseluruhan pada berbagai contoh hal yang
diajukan, sebagaimana beberapa hal yang menuntut qiyas, hanya saja hal itu akan
membawa kepada hilangnya kemashlahatannya dari stau segi atau dari segi lainnya
ia bisa mendatangkan kerusakan”.
2.
MASHLAHAH MURSALAH
A.
Pengertian Mashlahah
Mashlahah mursilah artinya
muthlak. Dalam istilah ushul, yaitu kemaslahatan yang tidak disyaritakan oleh
syar’i untuk mengi’tibarkananya, atau membatalkannya. Dinamakan mutlak karena
tidak dikaitkan dengan dalil yang menerangkan atau dalil yang membatalkannya.
Misalnya kemashlahatan yang disyariatkan. Disini dikemukakan yaitu sahabat
mendirikan penjara, atau mencetak mata uang, atau menetapkan tanah pertanian
yang dibuka oleh yang memilikinya. Dan memungut pajak terhadap tanah itu. Atau
kemashalatan lainnya yang dirasa penting dijalankan. Atau kebutuhan-kebutuhan
yang tidak disyari’atkan oleh hukum. Tidak disaksikan oleh orang yang
menyaksikan syari’at dengan i’tibarnya.
Definisi ini menerangkan bahwa tasyri’
hukum itu tidak bermaksud selain dari untuk menetapkan kemashlahatan
masyarakat. Artinya mendatangkan kemanfaatan dan menghapuskan kemudharatan
dalam masyarakat. Kemashlahatan orang itu tidak melingkupi seluruh kehidupan.
dan tidak akan mencegah ifradnya. Dia hanya memperbaharui dengan pembaharuan
masalah kemasyarakatan, mengikuti perembangan yang berbeda-beda menurut tempat
dan masanya. Tasyri hukum itu
mendatangan kemanfaatan pada suatu masa dan kemudharatan pada masa lainnya.
pada suatu masa hukum itu akan bermanfaat dan merupakan mudharat pada masa lainnya.
Kemashlahatan yang disyari’atkan oleh syari’ itu untuk menetapkan
hukum. Dan menunjukan i’tibarnya, dan
menerangkan sebab-sebab apa yang
disyari’atkan. Dalam istilah ushul dinamakan Al Mutshalih mu’tabirah dari syari’. Misalnya memelihara kehidupan
orang. Syari’ mensyari’atkan, wajib melakukan kisas terhadap orang yang
membunuh, pembunuhan yang direncanakan. Untuk memelihara harta benda maka
disyariakan potongan tangan terhadap orang yang mencuri, baik laki-laki mauoun
perempuan. Untuk menjaga nama baik maka disyariatkan menjatuhkan sanksi hukuman
terhadap orang yang mengkazaf dan orang
yang berzina. Tiap-tiap orang yang melakukan pembunuhan denan rencana, mencuri,
mengkazaf dan berzina itu harus bersesuaian.
Artinya tasyri’ hukum itu
dibina untuk menetapkan kemashlahatan. Ini harus difikirkan oleh pembuatan
syari’at (undang-undang dan perempuan-perempuan). Karena yang membuat peraturan
iu membina hukum di atasnya. Penyesuaian ini harus difikirkan oleh syari’. Ada
yang berbentuk manasib mu’atsar, dan
ada pula yang terbentuk manasib mala-im. Harus diperhitungkan matang-matang
macam i’tibar ini oleh pembuat peraturan. Tidak boleh ada perbedaan dalam
syari’at yang dibinanya itu sebagaimana yang dikemukakan di atas.
Adapun mashalih yang mengatur masalah tempat tinggal dan musibah
setelah terputusnya wahyu, tidak ada syari’ yang mensyariatkan hukum untuk
ditetapkan. tidak ada dalil yang dikemukakan untuk menerangkan atau untuk
membatalkannya. Ini dinamakan manasib mursil, atau dinamakan dengan istilah
lain. Mashalalah mursilah ini adalah
seperti mursilah yang berlaku dalam perkawinan yang tidak ditetapkan secara
resmi. Di sini tidak diperdulikan tuduhan orang yang mengingkarinya. Misalnya
kemashlahatan yang mengatur masalah akad jual beli yang tidak memindahkan hak
milik. Seluruh mashlahah ini tidak disyariatkan oleh pembuat syariat mengenai
hukum-hukumnya itu. Tidak ada dalil yang menunjukkan atau yang membatalkan.
Inilah dia mashlahah mursilah.
Dalil yang mengemukakan hujah
Menurut ulama-ulama terkemuka, bahwa mashlahah mursilah itu
merupakan hujah syari’ah. Di atasanya itu dibina syari’atkan hukum.
Masalah-masalah yang tidak diatur oleh hukum, baik yang bedasarkan nash,
ataupun ijmak, kias, atau istihsan, dalam hal ini orang mensyariatkan hukum
yang mengatur mashlahah muthlak. Tidak menghentikan tasyri’ hukum dibina di
atas mashlahah ini untuk mengadakan saksi tasyri’ dengan penjelasannya.
Dalil-dalil
yang dikemukakan orang dalam maslah ini ada dua :
Pertama, memperbaharui
kemashlahatan masyarakat dan tidak mengadakan larangan-larangan. Kalau tidak
disyariatkan hukum maka dengan apa orang akan mengadakan
pembaharuan-pembaharuan. Dengan apa orang mengadakan, mengembangkan dan
mempersempit ruang tasyri’ terhadap kemashlahatan yang difikirkan oleh syar’i.
Untuk memelihara keselamatan orang menurut perkembangan masyarakat. Ada
hal-hala yang tidak disepakati dan tidak diinginkan oleh syari’ dalam
menetapkan kemashlahatan masyarakat.
Kedua, ketetapan
tasyri’ sahabat dan tabi’in . begitu juga imam-imam mujtahid. Nyatanya mereka
mensyariatkan hukum untuk menetapkan secara mutlak kemashlahatan masyarakat.
Bukan hanya sekedar untuk mengadakan sanksi dengan keterangan-keterangan yang
diberikannya. Abu bakar mengumpulkan benda-benda yang bertuliskan Al-Qur’an,
Dia juga memerangi orang-orang yag enggan membayarkan zakat.
Setelah Umar menjadi khalifah, dia juga pernah menjatuhkan talak
tiga dengan satu bperkataan. Dia melarang menyakiti hati mu’alaf dalam masalah
sedekah. Dia memungut pajak dan membentuk dewan-dewan. Mendirikan penjara. Dia
melaksaanakan hukum terahadap pencurian pada tahun Maja’ah. Usman mengumpulkan mshaf itu menjadi satu dan
menebarkannya dan membakar selain dari yang satu itu. Mengatur hak waris bagi
isteri yang diceraikan oleh suaminya. Ali bin Abi Thalib pernah memenjarakan
pemimpin-pemimpin kaum Rifadhah dari golongan Syi’ah.
Mazhab hanafi melarang orang menjadi mufti lucu, dokter bodoh,
memungut sewa kepada orang yang jatuh failit. Mazhab Maliki memperbolehkan
memenjarakan orang tertuduh memuliakannya, menghubungkan kepada ketetapannya.
Mazhab Syafi’i mewajibkan kisas terhadap serombongan orang yang membunuh
seseorang. Semuanya itu adalah kebaikan yang dimaksudkan oleh dengan apa
yang disyariatkan dari hukum yaitu mashalahatan mursilah.
Syariat mereka itu dibinakan kepadanya karena dia adalah kemashlahatan.
Tidak ada adalil dari syari’ untuk membatalkannya. Mereka tidak menegakkan
syari’at itu untuk keselamatan sebelum adaa orang yang menyaksikan syari’ itu
dengan i’tibarnya. Dalam hal ini kata Al-Qurafi. Para sahabat mengerjakan
beberapa hal untuk mengadakan kemashlahatan, bukan untuk mengemukakan saksi
yang akan menjelaskan duduk persoalnnya. Kata Ibnu Aqril, siasat itu ialah
segala perbuatan orang lebih mendekatkan kepada perdamaian, dan menjauhkan
kerusakan sekalipun diperbuat oleh Rasul. Ada orang yang mengatakan, Siasat itu
tidak selain dari apa yang dibicarakan orang tentang syariat itu. Pernah ada
kekhalifahan para sahabat dalam syariat mereka.
Syarat-syarat
untuk dijadikan Hujah
Barang siapa yang mengemukakan hujah dengan mashlahah mursilah,
mereka itu harus berhati-hati , sehingga bagi tasyri’ bukanlah merupakan pintu
untuk memperunutkan hawa nafsu dan keinginan. Untuk ini syarat-syarat yang
dibina oleh tasyri’ itu ada tiga macam syarat.
Pertama, adalah
mashlahah hakikat, buan mashlahah wahamiah
(angan-angan). Yang dimaksud dengan ini ialah menetapkan orang yang
mentasyri’kkan hidup pada suatu peristiwa, mendatangkan manfaat dan membuang
yang mudharat. Adapun tanpa waham maka tasyri’ itu akan mendatangkan manfaat tanpa menimbang-nimbang antara apa
–apa yang akan mendatangkan kemudharatan. Untuk itu harus dibina atas
kemashlahatan wahamiah. Misalnya kmashlahatan yang masih diimikan dalam hal
mencabut hak suami untuk menceraikan isterinya. Hak meceraikan ini diserahkan
saja kepada hakim.
Kedua, ada
kemashlahatan umum. Bukan kemashlahatan perorangan. Yang dimaksud dengan ini
ialah meyakinkan tasyri’ hukum terhadap suatu peristiwa mendatangkan manfaat
untuk orang banyak. Atau membuang kemudharatan. Bukan untuk kemashlahatan.
Pribadi, atau orang yang sedikit jumlahnya. Disini tidak boleh mensyariatkan
hukum hanaya untuk kemashlahatan khusus oleh Amir atau pembesar.
Menyenyampingkan pendapat orang-orang yang kenamaan dan kemashlahatan mereka
itu.
Ketiga, Tasyri’ itu
tidak boleh bertentangan bagi kemashlahatan hukum ini, atau prinsip-prinsip
yang ditetapkan dengan nash atau ijmak. Tidak sah kemashlahatan itu
diperlakukan untuk menyatakan hak anak laki-laki dan anak perempuan dalam
masalah warisan. Kemashlahatan ini batal karena bertentangan dengan nash
Al-Qur’an. Dalam hal ini berfatwa Yahya ibnu Yahya Al Laitsi Al-Maliki,
seseorang ahli fikhi di Andalus. Dia adzlah murid dari imam Malik bin Anas
Khatiah, ada seorang raja Andalus memperbukakan puasnya dengan sengaja pada
bulan Ramadhan. Menurut fatwa imam Yahya, tidak usah membayar kifarat, selain
dari berpuasa dua bulan berturut-turut. Fatwanya ini dibina atas kemashlahatan
yang berlaku. Jika yang dimaksud dengan kifarat ialah menghardik orang yang
berdosa dan menegurnya, sehingga orang itu tidak kembali memperbuat dosa yang
seperti itu. Raja itu tidak memperbuat selain ini.
Adapun memerdekan budak., maka hal ini juga harus dilakukan dan
dalam hal ini tidak dihardik. Fatwa ini dibina atas kemashlahatan, tapi
bertentangan dengan nash. Karena nash terang-terangan mengatakan bahwa kifarat
bagi orang yang sengaja memperbudakkan puasanya pada bulan Ramadhan ialah
memerdekakan budak. Barang siapa yang tidak mendapatkan budak maka hendaklah
berpuasa dua bulan berturut-turut. Orang-orang yang tidak sanggup, maka
hendaklah dia memberimakan enam puluh orang miskin,. Disini tidak ada peredaan antara raja dengan orang
miskin. Kifarat itu hanya dibayar dengan berpuasa dua bulan,khusus mashlahah,
bukan Mursalih. Malah batal.
Disini jelas bahwa kemashlahatan dengan kata-kata lain washaf manasib (sifat yang sesuai)
bilamana ada bukti syari’ menunjukkan dengan satu keterangan. Yang bersesuaian
ini di i’tibarkan oleh syari’. Ada manasib
mua-tsir (terpuji) dan ada pula munasib
mala-im (sepadan). Apabila saksi syari’ tidak menunjukkan untuk dibatalkan
keterangannya, ini dinamakan manasib mursil. Dengan kata-kata lain disebut Al-Mashlahah Mursilah. Lebih jelas lagi
ada syarah yang tidak dijadikan hujah. Menurut sebagian ulama mengatakan bahwa
mashlahah mursilah yang tidak memakai syari’ dengan penjelasannya, dan tidak
pula dengan membatalkannya maka di sini tidak dibina syari’ padanya.
Ada dua dalil
yang dikemukakan orang
Pertama, syari’ itu
memelihara setiap kemashlahatan orang berdasarkan nash,. Dan apa yang
dikemukakan oleh kias. Syari’ tidak akan meninggalkan hal-hal yang percuma
kepada orang. Tidak akan membiarkan kemashlahatan itu tanpa menunjuk kepada
tasyari’ yang dipunyainya itu. Kemashlahatan itu harus mempunyai saksi dari syari’
dengan keterangannya. Kemashlahatan yang tidak mempunyai saksi dari syari’
berdasarkan alasan yang kuat, maka pada hakikatnya bukanlah kemashalahatan. Hal
ini tidak lain selain dari kemashlahatan yang hanya merupakan angan-angan. Dan
disini tidak sah membina tasyri’ atasnya.
Kedua, tasyri’ itu
dibina atas mashlahah muthlak. Di dalamnya terbuka hawa nafsu daripada
wali-wali, pemimpin-pemimpin dan mufti-mufti. Sebagian dari mereka ini
dikalahkan oleh hawa nafsu dan maksud-maksud tertentu. Mereka ini mengkhayalkan
rusaknya kemashlahatan. Kemashlahatan itu nilainya berbeda-beda. Karena berbeda
jalan pemikiran dan tempat tinggal. Maka terbukalah pintu tasyri’ mashlahah
muthlak ini, dan terbukalah pintu keburukan.
Menurut kenyataan, inilah yang menguatkan pembinaan tasyri’ atas
mashlahah mursilah. Karena apabila pintu ini tidak terbuka, maka tasyri’ Islam
itu tidak akan jalan. Akan terhenti peredaran zaman dan domisili. Ada orang
yang mengatakn bila tiap-tiap pembagian itu dperinci sampai sekecil-kecilnya
masih ada kemashlahatannya kepada orang. Pada zaman apapun dan tempat tinggal
manapun juga dipelihara oleh syari’. Disyariatkan dengan nash-nash dan
prinsip-prinsip umum menurut apa yang dilakukan dan yang sepadan dengannya.
Katanya, tidak menguatkan peristiwa yang terjadi karena dalam hal ini sudah
tidak diragukan lagi bahwa sebagian dari mursalih yang terdapat itu tidak
menjelaskan saksi syariat terhadap zatnya yang diterangkannya.
Ada pula orang yang khawatir akan tersia-sia sebab adanya kezaliman
dan memerturutkan hawa nafsu dengan nama mashlahah muthlak. Ketakutan itu akan
hilang karena mashlahah muthlak itu tidak membina tasyri’ kecuali mencukupi
tiga syarat yang diperlukan. Mashlahah umum itu pada umumnya tidak membedakan
nash syar’i dan tidak mempunyai prinsip-prinsip syar’i.
Kata Ibnu Qayim, diantara orang-orang Islam itu ada yang sudah
keterlaluan dalam memelihara mashlahah mursilah. Tidak bisa berdiri dengan
mashalih hamba yang membutuhkan kepada lainnya. mereka menutup terhadap diri mereka itu sendiri
jalan-jalan yang benar dan diantara mereka itu ada yang sudah keterlaluan,
mereka memperblehkan apa-apa yang dilakukan oleh syari’at Allah dan mereka
memperbuat keterbuukan terus-menerus dan kerusakan sepanjang masa.
3.
SADDUDZ DZARI’AH
1.
Pengertian
Saddudz secara bahasa artinya menutup. Dzari’ah artinya sarana
untuk mencapai tujuan atau maksud. Sedangkan secara bahasa saddudz dzari’ah artinya
menutup sarana untuk mencapai tujuan atau maksud tertentu. Menurut ushul
fiqih, saddudz dzari’ah adalah menutup atau melarang sesuatu yang mubah yang
dapat mengantar pada kerusakan atau kemudaratan.
2.
Macam-macam Dzari’ah
Dzari’ah
dengan memandang kepada dampak yang ditimbulkannya, menurut Ibnu Qoyim ada
empat macam:
a.
Dzari’ah
yang secara esensi merusak, seperti pembunuhan dapat merusak jiwa,zina dapat
merusak kehormatan, pencurian dapat merusak harta bennda.
b.
Dzari’ah
yang secara esensi tidak merusak (mubah), akan tetapi dapat merusak ketika
dipakai untuk tujuan tahlil ( menghalalkan seorang perempuan untuk
kembali kepada suaminya yang mentalak tiga ).
c.
Dzari’ah
yang secara esensi tidak merusak (mubah), tetapi dalam situasitertentu dapat
mengantarkan kepada kemudaratanyang lebih besar dari kemaslahatannya. Misalnya
menjual senjata bagi perampok, menjual anggur pada produsen khomer, dan nikah
dengan wanita kristen atau katolik di Indonesia.
d.
Dzari’ah
yang secara esensi tidak merusak (mubah), dan kecil kemungkinan membawa pada
kemudaratan. Seperti menjual anggur di pasar, melihat wanita yang hendak
dilamar, dan lain-lain.
Dari segi kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al Syatibi membagi
dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:
a.
Dzari’ah
yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan dzari’ah
itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan.
b.
Dzari’ah
yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu
dilakukan, maka kemungkinan besarakan timbulkerusakan atau akan dilakukannya
perbuatan ang dilarang.
c.
Dzari’ah
yang membawa kepada perbuatan yang terlarang menurut kebanyakannya. Hal ini berarti
bila dzari’ah itu dihindarkan sering kali sesudah itu akan mengakibatkan
berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual beli kredit.
d.
Dzari’ah
yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang. Jika
perbuatan ini dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya
menggali lubang dikebun sendiri yang jarang dilalui orang.
Pandangan Ulama tentang Saddudz Dzari’ah
Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun
ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan Saddudz Dzari’ah.
Oleh karena itu, dasar pengambilanna hanya semata-mata dengan ijtihad,
berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan
perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan.
Pada dasarnya Jumhur adalah ulama yang menempatkan faktor manfaat
dan mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada dasarnya
juga menerima metode sadduz dzari’ah, meskipun berbeda dalam kadar
penerimaannya.kalangan ulama Malikiyah yang dikenal dengan menggunakan faktor
maslahat dengan sendirinya juga menggunakan metode suddudz dzari’ah.
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan saddudz dzari’ah adalah
kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan
mafsadat. Bila maslahat yang dominan maka boleh dilakukan, dan bila mafsadat
lebih dominan maka harus ditinggalkan, namun jika sama kuat antara keduanya,
maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil prinsip ang berlaku, yaitu
sebagaimana dirumuskan dalam kaidah:
دَر أُ
الْمَفَا سِدِ مُقَدَّمُ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemashlahatan.”
Sebagai pegangan bagi ulama yang mengambil tindakan kehati-hatian
dalam beramal, adalah sabda Nabi:
“Yang halal itu sudah jelas dan yang haram itu sudahjelas.yang
terletak diantara keduanya termasuk urusan yang meragukan ( subhat ).
Ketahuilah bahwa ladang Allah itu adalah padang yang diharamkannya. Siapa yang
bergembala disekitar padang larangan Allah itu diragukan akan terjatuh
kedalamnya.”
Ulama yang menolak dengan tegas metode saddudz dzari’ah secara
mutlak adalah ulama Zhahiriyah. Mereka berpatokan dengan firman Allah
dalam surat An Nahl 16:116 :
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا
حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى
اللَّهِ الْكَذِبَ لايُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram",
untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan materi yang telah
dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa; Istihsan
menurut istilah ulama ushul fiqih ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari
tuntutan Qiyas yang jali (nyata)
kepada tuntutan Qiyas yang khafy
(samar), atau dari hukum kulli (umum)
kepada hukum istitsnay (pengecualian)
ada dalil yang meyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini. Selanjutnya
pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang
tersembunyi, lalu ia berpaling dari aspek analisis yang nyata, maka ini disebut
dengan nama : Istihsan, menurut
istilah syara’.
Kemudian Mashlahah Mursalah dalam istilah ushul memiliki
pengertian, yaitu kemaslahatan yang tidak disyaritakan oleh syar’i untuk
mengi’tibarkananya, atau membatalkannya. Lalu yang terakhir adalah saddudz
dzari’ah yang memiliki pengertian secara bahasa yaitu menutup sarana
untuk mencapai tujuan atau maksud tertentu. Sedangkan menurut ushul fiqih, saddudz dzari’ah adalah
menutup atau melarang sesuatu yang mubah yang dapat mengantar pada kerusakan
atau kemudaratan.
B.
KRITIK DAN SARAN
Dengan selesainya materi dan pembahasan yang telah dimuat dalam
makalah ini, tentu memiliki kekurangan atau kesalahan yang mungkin kurang
berkenan di hati para pembaca. Oleh karenanya, kami sebagai penulis makalah ini
meminta kesediaannya untuk memberikan kritik dan saran kepada kami. Dengan
adanya kritik dan saran dari pembaca, kami mampu mengevaluasi kembali hasil
makalah yang telah kami buat, dan memperbaiki kesalahan tersebut dengan baik.
Kritik dan saran dari pembaca diharapkan mampu membuat kami belajar dari
kesalahan dan memotivasi agar menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf,
Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama, 1994.
Khallaf,
Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Cet. 2. Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1995
Hamid,
Homaidi. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Q-Media, 2013.
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqih. Jilid 2. Jakarta: Kencana, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar